Kamis, Oktober 28, 2010

Pengantar

Kata Pengantar

SEMUA puji-pujian yang sempurna hanya milik Allah, Subhaanahuu wa Ta’aalaa, yang karena karunia-Nya-lah kami dapat menyajikan berupa penjelasan (klarifikasi) tentang buku Tadzkirah ini.

Allah Taala di dalam Al-Quranul-Karim berfirman:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ – الشّورى : 52
“Dan tidaklah mungkin bagi manusia agar Allah berfirman (berkata-kata) kepadanya kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirim seorang utusan guna berkata-kata dengan seizin-Nya. Sesungguhnya, Dia Maha Luhur, Maha Bijaksana.” (QS Asy-Syuura {42} : 52)

Menurut ayat ini, Allah masih tetap berkata-kata dengan hamba-Nya melalui 3 (tiga) cara:
1. Melalui wahyu langsung;
2. Melalui tabir-rukya, kasyaf atau suara tanpa terlihat wujud yang berbicara;
3. Mengirim malaikat atau rasul untuk menyampaikan amanat.

Dengan demikian, wahyu masih tetap ada sebagai bukti bahwa tak satupun sifat Allah yang terhenti, termasuk sifat Al-Mutakallim (yakni sifat berkata-kata). Namun demikian, perlu dipahami bahwa wahyu yang masih berlangsung bukanlah wahyu syariat sebab wahyu syariat telah berakhir dengan turunnya syariat Islam, dalam bentuk Al-Quranul-Karim, sesuai firman Allah:
...أَلْيَومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتمْـَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتيِ وَ رَضِيتُ لَكُمْ اْلإِسْلاَمَ دِيناً ... (المآئده : 4)
“…Hari ini telah kusempurnakan agamamu bagimu dan telah ku-lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Ku-sukai bagimu Islam sebagai agama…” (QS Al-Maidah {5} : 4)

Jika masih ada wahyu setelah atau selain Al-Quranul-Karim, maka wahyu tersebut berfungsi sebagai mubasysyirat (مبشّرات – kabar-gembira/penjelasan). Misalnya, wahyu-wahyu yang diterima oleh Yang Mulia Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terkumpul sebagai Hadits Qudsi atau wahyu-wahyu yang diterima para Sahabat radhiyallaahu ‘anhum, para Mujaddid atau para Waliullah atau pun siapa yang dikehendaki Allah. Penjelasan lebih rinci dan contohnya akan dijelaskan pada tulisan/penjelasan yang membahas topik ini secara khusus.

Ilham/Wahyu yang terdapat dalam buku Tadzkirah yang sedang kita bahas ini, termasuk dalam kategori tersebut—yaitu sebagai penjelasan ataupun kabar gaib yang merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quranul-Karim ataupun sabda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau ungkapan menunjuk kepada keadaan atau situasi yang sedang atau akan terjadi di dalam kehidupan manusia, agar manusia dapat mengantisipasi ataupun mendapatkan keteguhan dan keyakinan yang lebih mendalam bahwa Islam adalah agama yang hidup karena Tuhan-nya tetapi hidup, yang dibuktikan dengan masih adanya wahyu sebagai tanda sifat Al-Mutakallim-Nya (sifat berkata-kata).

Buku Tadzkirah ini memuat ilham/wahyu, kasyaf dan rukya yang dikumpul dari selebaran-selebaran, catatan-catatan harian, dan 84 buku karya pendiri Jemat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam.

Tulisan kami ini, adalah penjelasan atau klarifikasi terhadap Laporan Telaah Tadzkirah dan pertanyaan yang dikemukakan oleh Tim Peneliti dari Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia berkenaan dengan buku Tadzkirah tersebut. Sebelum ini, telah kami berikan penjelasan secara tertulis atas pertanyaan yang diajukan oleh badan Litbang di atas, yang juga berkenaan dengan Tadzkirah (telepon dari Staf Litbang Departemen Agama Republik Indonesia kepada Kakanset PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 13 November 2002) untuk memudahkan, fotokopi jawaban tersebut kami lampirkan.

Kami, Tim Klarifikasi yang terdiri dari: Bapak Ahmad Hidayatullah Shd., Bapak Qomaruddin Shd., Bapak Drs. Haji Djamil Sami’an, dan saya yang lemah, Zafrullah Ahmad Pontoh, telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun penjelasan ini guna mewujudkan harapan dan penghargaan Pimpinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bapak Haji Abdul Basit, Shd., Amir Jemaat, terhadap perhatian dan kerjasama pihak Departemen Agama Republik Indonesia d.h.i. Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan yang Bapak pimpin.

Dengan kerjasama ini, diharapkan dapat menghilangkan kesalahpahaman tentang Ahmadiyah dan semoga menarik rahmat, kasih sayang, karunia dan berkat serta pertolongan yang khusus dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, Maha Pencipta, Penguasa dan Pemilik alam raya ini. Aamiin Allaahumma aamiin.

Di dalam penomeran ayat-ayat Al-Quranul-Karim, kami menghitung بسم الله الرّحمــاــن الرّحيم yang terletak pada permulaan setiap surah sebagai ayat pertama sesuai standar penomeran ayat-ayat Al-Quranul-Karim yang digunakan Jemaat Ahmadiyah; sebab tak ada sedikitpun campur tangan manusia yang terdapat di dalam Al-Quranul-Karim. Di dalam Hadits pun disebutkan bahwa setiap surah yang diturunkan selalu dimulai dengan wahyu بسم الله الرّحمــاــن الرّحيم . (HR Abu Daud, Syirkah Maktabah Mushtafaa Al-Baabi Al-Halabi Mesir)*).

Jika ada kebaikan yang dapat diperoleh dari tulisan kami ini, maka itu semata-mata datang dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, dan jika terdapat kekurangan maka itu datang dari kami. Untuk itu, kami mohon maaf dan maghfirah dari Allah Yang Maha Kuasa dan mohon dimaafkan oleh Sidang Pembaca yang terhormat.
Tegur sapa (koreksi positif) atas dasar persaudaraan, sangat kami harapkan, demi untuk lebih sempurnanya tulisan ini di masa yang akan datang. Wabillaahi taufiiq wal hidaayah, wa aakhirud-da’waanaa ‘anil-hamdulillaahi rabbil-‘aalamiin.

Tim Klarifikasi Tadzkirah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Klarifikasi Terhadap Laporan Telaah Tadzkirah yang Dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia

DISUSUN oleh:
1. Zafrullah Ahmad Pontoh;
2. Ahmad Hidayatullah, Shd.;
3. Qamaruddin, Shd.; dan
4. Drs. H. Djamil Sami’an.
(Selaku Tim Klarifikasi Tadzkirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia)

UNTUK memudahkan, klarifikasi ini kami buat sesuai urutan Laporan Telaah yang dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia. Resume Laporan tersebut kami bagi ke dalam:
I. Pendahuluan
II. Isi Buku
III. Pokok Bahasan (A, B, C)

Pendahuluan
- Judul Buku
- Penulis
- Halaman
- Bahasa
- Terjemah/Tafsir
- Penerbit

BUKU yang dijadikan obyek klarifikasi ini adalah Tadzkirah. Buku Tadzkirah ini, bukan ditulis oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, ‘alaihissalaam (1835-1908); tetapi himpunan ilham/wahyu, kasyaf, dan rukya (mimpi yang benar) Pendiri Jemaat Ahmadiyah yang beliau terima dari Allah yang Maha Perkasa, Al-Mutakallim, yang dihimpun dan disusun oleh: Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir dan Maulwi Abdul Rasyid dari buku-buku, selebaran-selebaran dan catatan-catatan harian dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, ‘alaihissalaam—sebagian dikutip/dihimpun dari suratkabar-suratkabar ataupun majalah-majalah yang terbit di masa hidup beliau ‘alaihissalaam.

Ilham/wahyu, kasyaf dan rukya (mimpi yang benar) di dalam buku Tadzkirah ini terdiri dari bahasa Arab, Urdu, Farsi, Inggeris dan Punjabi. Terjemahan/tafsir/penjelasan utama yang terdapat di dalam buku Tadzkirah ini adalah terjemah/tafsir/penjelasan yang dikemukakan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam sebagaimana yang terdapat di dalam tulisan-tulisan beliau. Adapun terjemahan lain-lainnya, dilakukan oleh Tim Penyusun Buku Tadzkirah. Ada juga yang dikutip dari terjemahan para editor suratkabar dan atau majalah terbitan Jemaat yang sebelum menerbitkannya, mereka memohon pendapat Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam terlebih dahulu. Untuk lebih rincinya, dapat dibaca pada “Pendahuluan” buku Tadzkirah.

Penerbitan buku Tadzkirah, pertama kali dilakukan oleh Book Depot Ta'lif wa Isyaa’at Qadian pada tahun 1935, yang terdiri dari 664 halaman, sedangkan penerbitan kedua tahun 1956 dan ketiga tahun 1969 diselenggarakan oleh As-Syirkatul Islamiyyah Limited Rabwah, Pakistan—masing-masing terdiri atas 840 dan 818 halaman.

Isi Buku
TIM Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia mengemukakan telaahnya tentang isi buku Tadzkirah ini yang resumenya sebagai berikut:
 Tadzkirah merupakan buah mimpi.
 Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad, ditafsirkan oleh murid-muridnya dalam bahasa Urdu dengan intisari:
- membenarkan, memberikan Justifikasi tentang Kenabian Ahmad (Mirza Ghulam Ahmad);
- Seruan dan Pujian Allah kepada Ahmad;
- Kedekatannya dengan Allah;
- Isyarat Kerasulan-nya;
- Doa-doanya;
- Seruan kepada janji Allah tentang kebenaran Ahmadiyah dan Keberuntungan bagi yang mendapatkannya; dan
- mengafirkan orang yang mengingkarinya.
 Pernyataan tersebut dilukiskan dalam sebuah mimpi dan dituangkan dalam tulisan.

Klarifikasi
BUKU Tadzkirah ini bukan merupakan buah mimpi tetapi kumpulan dari ilham-ilham/wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf dan rukya-rukya (mimpi-mimpi yang benar) yang dianugerahkan oleh Allah Subhaanahu wa Tal’aalaa kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, yang telah teruji kebenarannya sejak dari masa kehidupan beliau hingga sekarang dan akan terus terbukti kebenarannya. Berikut ini kami kemukakan beberapa contoh ilham/wahyu dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa tersebut:

1- الرَّحمْـاـنُ عَلَّمَ الْقُرْاانَ – ( تذكره ، الشركة الإسلاميّة لميتد سنة 1969 ، صفحه 44 ، 219 ؛ تذكره ، الشركة الإسلامية لميتد سنة 1956 صفحه 44 )
Artinya: “Allah yang Maha Pemurah mengajarkan Al-Quranul-Karim.” (Tadzkirah, Asy-Syirkatul-Islamiyyah, Edisi 1969, halaman 44 dan 219; Tadzkirah, Asy-Syirkatul-Islamiyyah, Edisi 1956, halaman …)

Ilham/wahyu ini terbukti dengan kenyataan bahwa beliau telah menulis sedikitnya 84 buku yang semata-mata menjelaskan kebenaran-kebenaran, keberkatan dan keunggulan Al-Quranul-Karim, belum termasuk nasihat-nasihat lisan beliau ‘alaihissalaam kepada para Sahabat beliau. Di antara buku-buku tersebut ialah Barahin Ahmadiyah, buku yang mengemukakan bukti-bukti kebenaran tentang adanya Tuhan, tentang kesempurnaan dan keunggulan Islam serta keluhuran Yang Mulia Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang juga memiliki nama sifat Ahmad; dan buku Filsafat Ajaran Islam—buku yang membahas keindahan, kesempurnaan dan berkat-berkat ajaran Islam.

Kedua buku ini mendapatkan pujian dari berbagai kalangan, baik kawan maupun lawan, misalnya:
Count Lev. N. Tolstoy, Seorang pujangga Rusia yang mahsyur mengatakan, “Gagasan-gagasannya sangat mendalam dan amat benar.”

The Spiritual Journal dari Boston: “Kitab itu merupakan khabar suka yang murni bagi seluruh manusia.”

The Indian Spectator: “Uraian tentang ajaran-ajaran Al-Quran dalam bentuk yang amat menarik, penuh hikmah, dan gambaran alam pikiran yang cemerlang. Pembaca akan spontan mengungkapkan kata-kata pujian.”

2- يَأْتُونَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ – يَأْتِيكَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ - (تذكره سنة 1969 ، صفحه 365 )
Artinya: “Orang-orang datang dari tempat yang jauh. Anugerah datang kepadamu dari tempat yang jauh.” (Tadzkirah, halaman 365, Edisi 1969)

Ilham/wahyu ini terbukti sempurna dengan banyaknya orang-orang yang tinggal di tempat yang jauh telah baiat kepada beliau ‘alaihissalaam dan kemudian mereka datang mengunjungi beliau di Qadian. Selain itu, ada juga yang datang berbondong-bondong ke Qadian untuk baiat langsung di tangan beliau ‘alaihissalaam, di antaranya dari Afghanistan, negara-negara Arab dan dari Amerika serta Eropa. Sekarang ini, di India saja jumlah anggota Ahmadiyah telah mencapai lebih dari 50 juta orang—mayoritas mereka ini tinggal sangat jauh dari Qadian—dan di antara mereka banyak juga yang berasal dari agama Hindu yang dengan tulus mengucapkan Kalimah Syahadat أَشْهَدُ أنْ لاَ إلـاـهَ إلاَّ اللهُ ، و أشهد أنَّ محُـَمَّدًا رَسُوْلُ الله bergabung ke dalam Islam melalui perjuangan Jemaat Ahmadiyah. Sesuai dengan ilham/wahyu ini, negara yang di dalamnya telah berdiri Jemaat Ahmadiyah, berjumlah 179 negara dengan sebanyak anggota lebih dari 200 juta orang, yang tersebar di benua-benua Afrika, Amerika, Eropa, Asia dan Australia.

3- زار بهى هوگا تو هوگا اس كهڑى باحال زار – ( تذكره صفحه 536 ، شائع كروه سنة1956 ، 15 أبريل 1905 م )
(Zaar bhii hoogaa too hoogaa us ghalrii baahaal zaar)
Artinya: “Tsar pun akan mengalami, maka akan mengalami demikian. Waktu itu, keadaannya mengenaskan.” (Tadzkirah, hal. 536, tahun 1956, Asy-Syirkatul Islamiyyah Limited Rabwah).

Ilham/wahyu ini diterima oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam ketika Tsar yang berkuasa di Russia pada masa itu (Nicholas II) sedang pada puncak kejayaannya.

Ilham/wahyu ini bukan hanya mengenai kejatuhan Tsar, tapi juga mengenai keadaan akhir hidupnya yang mengenaskan. Sejak turunnya ilham/wahyu tersebut, Tsar masih berkuasa beberapa tahun dan tak ada tanda-tanda zahiriah akan kejatuhannya.
Di satu segi, dia memberi kebebasan pada setiap sekte agama untuk berkembang. Namun, di segi lain masih diberlakukan ‘hukuman-mati’ bagi pengikut agama dari Gereja Yunani yang meninggalkan ‘pemahaman ortodok’ dan berpindah ke sekte lain. 1914, 9 tahun setelah ilham/wahyu tersebut diterima, terjadi perang di Eropa dan dia membela Serbia sehingga menjadi buah bibir yang dibanggakan di Eropa. Namun, tahun 1915 dan 1916, terjadi kekacauan di negaranya. Kemudian, kerusuhan meledak pada tanggal 9 Maret 1917, 12 tahun setelah turunnya ilham/wahyu tersebut, ketika Tsar sedang mengunjungi medan perang untuk melihat posisi strategis. Kerusuhan tersebut dikarenakan ketidakbecusan seorang gubernur. Padahal, kemarahan masyarakat seperti itu biasa terjadi pada negara yang tertata sekalipun dan tak sampai atau jarang menyebabkan kejatuhan pemerintahan. Namun kali ini, “tangan Tuhan” bekerja menyempurnakan “kabar gaib” tentang Tsar, yang diberitahukan-Nya kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi ‘alaihissalaam.

Mendengar peristiwa tersebut, Tsar memerintahkan kepada Gubernur tersebut untuk menekan para perusuh dengan kekerasan. Keadaan ternyata makin memburuk. Tsar memberhentikan Gubernur tersebut dan menggantikannya dengan orang lain dan dia berupaya kembali ke Ibukota. Dia dinasihati agar tidak masuk ke Ibukota karena keadaan bertambah gawat, namun dia memaksakan diri untuk kembali ke Ibukota. Belum jauh beranjak, dia memahami situasi, bahwa telah terjadi Revolusi dan telah terbentuk Pemerintahan baru.

Pada hari yang sama, tanggal 12 Maret 1917, kekuasaan telah direbut dari tangannya. Tanggal 15 Maret 1917, di bawah tekanan, dia menandatangani pernyataan bahwa dia dan keluarganya tidak akan pernah lagi menuntut mahkota kekuasaan Russia. Tsar Nicholas II ini menyangka bahwa dengan melepaskan kekuasaan, maka dirinya, permaisuri dan anak-anaknya akan selamat dan dapat hidup tenang sebagai warga masyarakat biasa. Namun, tidak demikian. Ternyata, 6 hari kemudian pada tanggal 21 Maret 1917, dia dipenjarakan dan dikirim ke Skosilo. Tanggal 22 Maret 1917, Amerika mengakui pemerintahan baru. Pada tanggal 24 Maret 1917, Inggris, Perancis dan Italia mengakui pemerintahan baru Russia. Harapan Tsar pupus sudah sebab negara-negara sahabat yang kuat yang untuk mereka dia menyerang Jerman, telah berbalik mendukung pemerintahan yang berdiri karena kudeta.

Keadaan terus berkembang sesuai kabar gaib tersebut. Memang tampuk pemerintahan masih di tangan kerabatnya yaitu Pangeran Dilvao. Dia (Tsar) masih mendapatkan perlakuan baik di penjara. Namun, bulan Juli 1917, Pangeran Dilvao terpaksa melepaskan kekuasaannya dan diambil alih oleh Kerensky. Dengan demikian, kehidupan keluarga Tsar yang ditahan makin berat namun masih dapat mereka pikul. Tapi pada tanggal 7 November 1917, Revolusi Bolsyewik mengakhiri pemerintahan Kerensky yang membuat kehidupan Tsar menjadi sangat memilukan. Singkatnya, dia dikeluarkan dari tahanan istana dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain berkali-kali dan berakhir di Ekaterinburg. Di sini, dia disiksa sebagaimana penyiksaan yang dia timpakan kepada para tahanan di Siberia ketika masih berkuasa. Pemerintahan Bolsyewik mengurangi jatah makanan dan sarana kehidupannya. Anaknya yang sakit dipukuli para penjaga dan harus disaksikan oleh kedua orang tuanya. Anak perempuannya diperlakukan dengan kasar. Bahkan, suatu hari Tsarina—isteri Tsar—dipaksa menyaksikan perlakuan kasar dan pemaksaan kepada putrinya. Setelah menyaksikan dan merasakan kekerasan, kebrutalan dan hal-hal yang menyakiti jasmani dan jiwa, yang tak sanggup dipikul lagi oleh makhluk hidup, akhirnya Tsar Nicholas II ditembak mati pada tanggal 8 Juli 1918 dan diumumkan juga bahwa isteri dan anak-anaknya pun di hukum mati. (Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 20, 1977, hal. 325-326)
4- إنيِّ ْ نَعَيْتُ أَنَّ اللهَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ.
Untuk lebih rincinya, dapat dibaca di dalam buku Haqiiqatul-Wahyii halaman 685-702.


Masalah Wahyu

Apakah “Wahyu” itu?

SEYOGIANYA dimaklumi bahwa timbulnya pertanyaan di atas ialah karena adanya perbedaan pemahaman/pandangan antara Ahmadiyah dan bukan Ahmadiyah tentang Masalah Wahyu. Untuk lebih jelasnya pemahaman akan hal wahyu, di bawah ini kami kutip penjelasan tentang wahyu dari segi etimologi yang tertera dalam lughat Al-Quran, karangan Imam Raghib Isfahani, sebagai berikut:
“Arti mendasar wahyu ialah ‘isyarah yang cepat dan tiba-tiba’. Dan berhubung dalam kata ‘itu’. terkandung kata ‘cepat/tiba-tiba’—sebab itu berturut-turut, sambung-menyambung dikatakan: أَمْرٌ وَحْيٌ (amrun wahyun). Dan wahyu ini, kadangkala dengan perantaraan kalam sebagai isyarah dan dengan bahasa perumpamaan dan terkadang dengan perantaraan suara tanpa kata-kata, dan terkadang dengan isyarah organ tubuh, dan kadang dengan tulisan. Dan dikatakan juga, bahwa kalam Ilahi yang disampaikan kepada para Nabi dan Wali-wali disebut wahyu.”

Kemudian dalam Lughat Hadits terkenal Nihayah Ibnul Atsir Al-Juzri tertulis: Di dalam Hadits ditemukan kata wahyu berulang-ulang dan ini digunakan dalam arti tulisan, isyarah, pesan/amanat, ilham dan kalam yang tersembunyi.
Berikut ini arti dalam kitab Biharul-Anwar dan Asyifa Bil ‘Arifi Huququl-Mustafa, dan dalam Munjid tertulis:
“Ia telah mengisyarahkan padanya” -- وَحَى يحَـْي وحيا إلى فلان : أَشارَ اليه
“Telah mengirim utusan padanya” -- أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُوْلاً
وحي إليه أو وَحَى إليه كلاما كَلَّمَهُ بمِـَا يخفيه عن غيره
“Berbicara dengan kalam yang tersembunyi atau dia telah berbicara dengan kata yang tersembunyi dari orang lain”
“Allah telah mengilhamkan kepadanya” -- وحي الله في قلبه كذا : أَلهْـَمَهُ إِيَّاهُ
“Dia telah menulis kitab” -- __ الكتاب : كَتَبَهُ
“Menyembelih dengan cepat” -- الذَّبِيْحَة ذَبحَـَهُ بِالسُّرْعَةِ___

Dari referensi-referensi di atas, arti “wahyu” secara etimologi dapat menjadi jelas. dan dalam istilah ini, firman Ilahi yang turun pada para nabi dan wali-wali disebut “wahyu”.

Bagaimana Turunnya Wahyu?

ALLAH Subhaanahuu wa Ta’aalaa sendiri menjawabnya dalam Al-Quran Surah Asy-Syuura 42 ayat ke-51.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ  الشّورى : 52
“Allah tidak berbicara dengan manusia, kecuali dengan wahyu atau di balik tirai (perlu penafsiran) atau Dia mengirim Rasul-Nya yang sesuai dengan izin-Nya kepada yang Dia kehendaki. Sesungguhnya, Allah Maha Luhur, Maha Bijaksana.” (QS Asy-Syuraa {42} : 52)
Di dalam ayat ini, diterangkan tentang sifat Tuhan yang abadi yang menurunkan kalam-Nya kepada siapapun dari hamba-Nya karena di dalam ayat ini tidak dikatakan: مَا كَانَ لِنَبِيِّيٍ (yaitu: hanya dengan Nabi saja Tuhan berbicara), bahkan مَا كَانَ لِبَشَرٍ (yaitu: siapapun dari hamba-Nya, Dia berbicara). Dan Basyar (manusia) ada 4 kelompok, yaitu: Nabi, Wali, Mukmin dan Kafir.

Dalam Tafsir Jami’ul Bayan, ‘Allamah Mu’in bin Syaji rahimahullaahu, di bawah kata وَحْياً menulis: “الإلهْـَامُ أَوِ المْـَنَام – al-ilhaamu awil-manaam―bahwa maksud wahyu ialah ilham atau kalam yang diturunkan dalam mimpi. Dan, kepada keempat macam manusia itu, Tuhan berbicara sesuai dengan kadar tinggi-rendahnya kerohanian seseorang. Jika manusia-biasa, maka sedikit pula kadar pembicaraan Tuhan dengannya. Jika dia wali, tentu akan lebih banyak. Jika dia seorang Nabi, maka sesuai arti نبي (nabi) itu sendiri, yang artinya banyak berbicara dengan Tuhan, dan mendapat banyak wahyu dari Tuhan, secara kwantitas – ilham yang dia terima dari Tuhan jauh lebih banyak dari yang lain.

Sesuai ayat yang tadi, ada tiga cara turunnya wahyu. Pertama, “ وَحْياً – wahyaan.” Dalam Tafsir Jalalain tertulis: فى المنام أَوْبِاْلإِلهْـَامِ. Maksud wahyu ialah kalam Ilahi yang turun dalam mimpi atau dengan ilham pada waktu sadar.
Di dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil ayil-Quran, Juz XIII, hal. 46, tertulis bahwa “wahyu” artinya adalah ilham, ilqa (tiba-tiba tercetus suatu ide yang baik di hati dari Tuhan).

Kemudian Hadhrat Imam Razi rahimahullaahu dalam Tafsir Kabir, Jilid XIV, hal. 187 (Darul Fikir Libanon) bahwa maksud “wahyu” adalah: هو الإلهام والقذْفُ
فىِ الْقَلْبِ أَوِ المْـَنَام. Wahyu ialah ilham dan memasukkan kata-kata dalam hati, atau memperoleh ilmu melalui mimpi.

Telah dipaparkan diatas rujukan-rujukan yang berkenaan dengan wahyu supaya dapat menghilangkan keraguan yang menganggap bahwa ilham atau mimpi tidak termasuk dalam wahyu.

Cara kedua: من وراء حجاب “kalam di balik tirai”. Ketiga: يرسل رسولاً – Tuhan mengirim malaikat dan menyampaikan ilham kepada nabi dan wali-wali.
Tafsir Kabir, Juz VII, hal. 406

Hadhrat Imam Razi rahimahullaahu menerangkan cara itu sebagai berikut: Yakni, wahyu Tuhan sampai pada manusia tanpa perantara (malaikat) atau dengan perantaraan yang menyampaikan. Dan jika wahyu sampai tanpa malaikat, dan kata-kata Tuhan pun tidak didengar orang itu, maka itu disebut “wahyu”.

Dan jika wahyu itu sampai tanpa melalui malaikat, tapi di dalamnya dia mendengar kata-kata Tuhan, maka itu termasuk dalam katagori من وراء حجاب . Dan jika kata wahyu sampai melalui malaikat, maka itu termasuk يرسل رسول . Dan pada akhirnya, Razi rahimahullaahu menulis suatu hal yang harus diingat bahwa: “Hal ini hendaknya dimaklumi bahwa tiga cara kalam ini disebut “wahyu”, tapi Tuhan hanya menyatakan cara pertama itu yang disebut wahyu. Karena kalam yang datang dengan perantaraan ilham itu, timbul di hati secara tiba-tiba (arti ‘wahyu’: cepat, secara kilat, dan ia tiba-tiba)—oleh karenanya, secara khusus penggunaan kata “wahyu” lebih tepat (dari segi lughat)".

Topik ini terdapat juga dalam Tafsir Alhazin Ibnu Katsir dan Tafsir Assawi, dan lain-lain. Jadi dari keterangan ini dimaksudkan bahwa wahyu ini mempunyai beberapa macam nama. Untuk lebih jelasnya, kami kutip sebagai berikut: Hadhrat Ibnu Qayyim rahimahullaahu dalam kitabnya, Zadulma’ad, Juz I, hal 18-19, menulis: Allah telah menyempurnakan itu untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yaitu:

1. Mimpi yang benar: Ini untuk Hadhrat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan permulaan wahyu, dan rukya/mimpi yang beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam lihat itu kemudian menjadi sempurna.

2. Wahyu yang malaikat masukkan ke dalam hati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam—tapi, Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat malaikat itu sebagaimana beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa ruh qudus telah memasukkan dalam hati saya bahwa: Seseorang tidak akan mati selama rizkinya belum dia peroleh, maka takutlah pada Allah dan bekerja keraslah dan jika agak terlambat mendapatkan rizki, maka janganlah berpaling dari Tuhan karena barang yang ada pada Tuhan itu didapatkan karena itaat pada-Nya.

3. Malaikat dalam bentuk orang menjelaskan di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berbicara dengan beliau dan apa yang dia katakan Nabi mengingatnya—dalam corak ini, terkadang Sahabah pun melihatnya juga.

4. Wahyu itu sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk suara lonceng. Ini merupakan wahyu yang sangat keras dan di dalam itu pun malaikat bersama nabi, dan karena kerasnya, Nabi sampai bercucuran keringat.

5. Nabi melihat malaikat dalam bentuknya yang asli sebagaimana ada di dalam Surah An-Najm.

6. Wahyu diturunkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada malam Mikraj berkenaan dengan “shalat”.

7. Kalam Ilahi yang sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Dia berfirman kepada Musa bin Imran, dan peristiwa ini terjadi untuk Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam terjadi pada malam Isra.

8. Tuhan berbicara berhadap-hadapan dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, ini sesuai dengan pandangan kelompok yang mempercayai bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sadar juga melihat. Menurut ulama salaf dan khalaf (yang datang kemudian), ini merupakan hal yang masih dalam “perselisihan”, tapi sahabah pada umumnya bahkan kesemuanya bersama Hadhrat Aisyah radhiyallaahu ‘anha sebagaimana Usman bin Darami menyatakan, hal itu adalah Ijmak bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa dengan mata jasmani dalam keadaan jaga. (QS An-Najm: “ ما كذب الفؤادمارأى – tidak berdusta apa yang dilihat dengan mata hati. Hadits: رَأَيْتُهُ بِفُؤَادِيْ – saya melihat-Nya dengan mata hati.”)

Faedah Wahyu

IMAM Razi rahimahullaahu berkata, “Ruh-ruh hidup dengan makrifat dan penjelamaan manifestasi-manifestasi suci. Oleh karena ruh-ruh hidup dengan perantaraan wahyu, sebab itu diberi nama ‘ruh’. Karena sebagaimana ruh merupakan faktor kehidupan jasmani ini, maka wahyu merupakan faktor kehidupan rohani.”

Singkatnya, tujuan-tujuan kebangkitan Nabi merupakan tujuan turunnya wahyu. Misalnya, Nabi membawa bersamanya tanda-tanda dan mukjizat supaya orang-orang memperoleh iman dan keyakinan yang kuat bahwa Tuhannya Yang Maha Kuasa itu ada dan tanda-tanda ini turun melalui wahyu.

Lebih lanjut Ar-Razi rahimahullaahu menulis pada hal. 292:Jadi ayat-ayat/tanda-tanda dalam agama kedudukannya sebagai makanan dan minuman bagi badan, serta tanda-tanda adalah untuk kehidupan agama/ruhani dan sebagaimana halnya rizki-lahiriah untuk kehidupan jasmani.

‘Allamah Assawi Al-Maliki rahimahullaahu dalam catatan kaki Jalalain menulis ينزل الملـآـئكة بالرّوح . Wahyu diberi nama ‘ruh’ karena hati memperoleh kehidupan dan kebahagiaan abadi dari hal tersebut; dan yang bergeser darinya, akan hancur; sebagaimana halnya dari ruhlah terjadi kehidupan jasmani, dan tanpa itu, jasmani akan hancur.

Imam Razi rahimahullaahu dalam Tafsir Kabir di bawah ayat ini, berkata: maksud ruh ialah wahyu dan kalam Allah. Dan selanjutnya berkata, “Yakni dengan perantaraan Al-Quran dan wahyu, mukjizat Ilahi serta kasyaf menjadi sempurna. Dan dengan mukjizat inilah, akan menjadi cemerlang dan sempurna. Jadi, menjadi jelas bahwa ruh yang sebenarnya dan wahyu hakiki adalah Al-Quran itu sendiri.

Ringkasnya bahwa jika Allah menganugerahi kedekatan-Nya dan Dia menganugerahkan berwawancakap dengan-Nya, pasti orang itu lebih-baik dari orang yang tidak mendapatkan karunia ini. Bahkan, mereka dapat memanfaatkan ini untuk mendapatkan kehidupan ruhani—sementara orang lain diibaratkan mati dibandingkan dengan mereka yang menerimanya.

Di dalam Al-Quran kita membaca bahwa orang yang tetap teguh dalam keyakinan, malaikat Tuhan turun pada mereka untuk menghiburnya: Jangan sedih dan bimbang. Di dunia ini, Allah menjadi teman mereka; yakni, Tuhan berbicara dengan mereka dan di akhirat kelak.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ – حم السّجدة : 30
Sebagian orang menjadi takut mendengar nama wahyu dan menganggap bahwa maksud turunnya wahyu ialah: Wahyu Al-Quran menjadi mansukh, serta mazhab dan agama baru akan turun, kekhawatiran seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya, baik di dalam Al-Quran maupun Hadits.

Wahyu Syari’at dan Wahyu yang bukan-Syari’at

BERKENAAN dengan masalah Kenabian, perlu dijelaskan bahwa Nabi ada dua macam sebagaimana tertera dalam Al-Quran, yaitu:
 إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَّنُورٌ يحَـْكُمُ بهِـَا النَّبِيُّونَ … المآئدة 44
Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya petunjuk dan nur. Banyak Nabi-nabi dan para Rabbani berhukum sesuai dengan itu… (QS Al-Maidah (5) : 44)
Dari ayat ini jelas, ada Nabi pembawa Syari’at dan Nabi yang tidak membawa Syari’at. Karena setelah Nabi Musa ‘alaihissalaam, banyak Nabi-nabi lahir yang banyak berhukum sesuai Taurat sebagaimana sabda Hadhrat Isa ‘alaihissalaam pada Matius, 5 : 17-18. “Janganlah kamu menyangka bahwa aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya sebelum lenyap langit dan bumi ini. Satu noktah atau satu titik pun tidak akan ditiadakan.” Dan hal ini sesuai dengan Al-Quranul-Karim, yaitu:

و رسولا إلى بني إسرائيل لا ... (إلى اخر) ( آل عمران : 50 )
“…Dan Rasul untuk Bani Israil…” (QS Ali Imran {3} : 50)
و مصدقا لما بين يدي من التورااـة ... ( إلى اخر ) ( آل عمران : 50 )
“…Dan Rasul untuk Bani Israil…” (QS Ali Imran {3} : 51)

Di dalam umat Islam pun sesuai Surat Al-A’raf (7) ayat ke-35:
يَابَنِي ءَادَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Wahai anak Adam, kapan saja datang padamu rasul-rasul dari antara kalian sendiri yang membacakan dan menerangkan padamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa di antara kalian yang bertakwa dan beramal saleh, mereka tidak akan takut dan sedih.”
Yang dimaksud anak Adam adalah orang-orang di zaman nabi dan sesudahnya.

Imam Jalaluddin Assayuti rahimahullaahu—pada Al-Itqan, Juz II, hal 34—dalam menafsirkan Surah Al-A’raf (7) ayat ke-31 “يَابَنِي ءَادَمَ ، خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ” bahwa dalam ayat ini Bani Adam ditujukan kepada orang-orang zaman Nabi dan yang berhubungan dengan orang-orang sesudahnya. Sebelum ayat ini pun, dua-tiga kali بَنِي اادَمَ disebutkan, yang maksudnya adalah: umat manusia. Dan kata “ يَأْتِيَنَّ ” adanya nun taukid menekankan bahwa Rasul-rasul akan dikirim di masa yang akan datang—akan menerangkan ayat-ayat Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa yaitu Al-Quran—karena Islam ialah agama sempurna dan tidak ada Syari’at lagi selain Islam. Oleh karena itu, wahyu-Syari’at tidak akan datang lagi kecuali wahyu yang mendukung (tanpa Syari’at).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ لم يَبْقَ مِنَ النّبوة إلالمبشّراتُ – Dalam umat ini, rangkaian mubasyirat akan tetap berjalan dari Tuhan—baik itu dalam corak wahyu, kasyaf dan bentuk mimpi.”

Begitu juga Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa dalam umat terdahulu ada orang-orang yang dengan mereka Tuhan berbicara, padahal mereka bukan nabi dan jika ada orang dalam umat ini, maka itu adalah Hadhrat Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anhu. (HR Bukhari, “Jami’ush-Shagiir”)

Dan, dari Al-Quranul-Karim diketahui bahwa dalam umat terdahulu ada Zulqarnain, Ibunda Nabi Musa ‘alaihissalaam, Ibunda Nabi Isa ‘alaihissalaamFiraun di zaman Nabi Yusuf ‘alaihissalaam, Firaun di zaman Nabi Musa ‘alaihissalaam dan lain-lain yang mendapat wahyu—jika di dalam umat ini hanya satu orang yang Allah berbicara dengannya, dibandingkan orang-orang terdahulu, maka ini merupakan penghinaan terhadap umat Islam. Karena, dalam pandangan para ulama salaf, berwawancakap dengan Tuhan merupakan pertanda seorang meraih kesempurnaan dalam hal rohani seperti apa yang dikatakan Imam Razi rahimahullaahu dalam tafsir beliau.

Di dalam umat Islam banyak orang-orang suci yang dapat berwawancakap dengan Tuhan seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam Al-Fatawa Haditsiyah, hal. 257:
إنّه مِنَ المحْـُـَدَّثِين بفتح الدَّال … اَلمْـُلْهَمِـْينَ
“Bahwa dia (Umar) dari antara para muhaddas: Yang diberi wahyu.”
Syekh Abdurrahman Assafuri dalam kitab beliau Nazhalul Majalis, Juz I hal 207 "العلم و اصفح" menjelaskan:Hadhrat Umar radhiyallaahu ‘anhu bersabda, “Saya telah melihat dalam mimpi, Allah berfirman, ‘Hai, Ibnu Khaththab. Mintalah!” Saya tetap diam. Maka Dia kembali berfirman, ‘Hai, Ibnu Khaththab. Aku menyodorkan di hadapan-mu negeri-Ku dan pemerintahan-Ku di hadapan-mu. Dan mintalah apa yang engkau inginkan dan namun engkau tetap diam.’ Maka saya berkata, ‘Wahai Tuhanku, sambil menurunkan kitab, Engkau bercakap-cakap dengan mereka. Oleh karena itu berbicaralah denganku tanpa perantara.’ Lalu Tuhan berfirman, ‘Wahai, Ibnu Khaththab. Barangsiapa yang berbuat baik kepada orang yang menyakitinya, maka sesungguhnya dia telah bersyukur kepada-Ku dan, barangsiapa yang menyakiti orang yang telah berbuat baik kepadanya, maka dia tidak mensyukuri nikmat-Ku.’”

Dalam buku Durrul-Manshur, kita membaca wahyu/doa yang diajarkan kepada Hadhrat Aisyah radhiyallaahu ‘anha oleh malaikat:ياسابغ النّعم و يا دافِع النِّقَم …(إلى الأخر)
Ketika beliau radhiyallaahu ‘anha. menerima wahyu itu, lapar dan dahaga beliau serta semua kesedihan beliau, menjadi hilang. Dan, turun pula ayat yang menyatakan kesucian beliau.

Kemudian, dalam Al-Mathalib Jamaliyah, berkenaan dengan Imam Syafi’i, Al-Ustad As-Sahani menulis sebuah kitab bahwa Hadhrat Imam Syafi’i rahimahullaahu melihat Tuhan dalam mimpi dan berdiri di hadapan beliau. Maka, Tuhan memanggil beliau, “Wahai Muhammad bin Idris, tegaklah di atas agama Muhammad. Dan, janganlah sama sekali bergeser dari itu. Kalau tidak, kamu sendiri akan sesat dan akan menyesatkan orang-orang. Apakah kamu bukan imam orang-orang? Kamu janganlah sama sekali takut pada raja itu. Bacalah ayat ini, QS Yaa Siin (36) : 8.
إِنَّا جَعَلْنَا فيِْ أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلىَ اْلأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ  يـس : 8
‘Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah.’
Imam Syafi’i berkata, ‘Maka saya bangun, dengan kudrat Tuhan, ayat meluncur dari lidah saya.’

Hadhrat Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaahu menerima wahyu. Hadhrat Ibnu Arabi dalam kitab Futuhatul Makiyyah Juz III, hal. 65, dalam menyebut Mikraj, beliau berkata bahwa ayat ini turun:
قل ءامنّا باِلله …(إلى الأخر)  البقرة : 36
Hadhrat Miir Dard, seorang suci di zamannya banyak menulis ilham. Dia di dalam bukunya Ilmul-Kitaab, di bawah judul “Tahdiitsi nik’mat” (Penguraian Nikmat), menulis banyak ilham beliau diantaranya:
وَ ادْعُهُمْ إِلىَ الطَّرِيقَةِ اْلمحُـَمّديّة بمِـَا أَنْزَلَ اللهُ فيِْ مِنَ الأاياَتِ الَّتيِْ هِيَ الشَّاهِدَاتِ الْبَيِّنَاتُ عَلَى حَقِّيَتِكَ وَ لاَتَتَّبِعْ أهْوَاءَ هُمْ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Serulah mereka pada jalan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan ayat-ayat yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, dan saksi yang jelas atas kebenaran engkau dan janganlah engkau mengikuti keinginan-keinginan mereka. Dan, bersiteguhlah sebagaimana diperintahkan kepada engkau—(dan turun pula kata)—فاَسْتَقِمْ كَمَا أمِرْتَ—yang merupakan ayat Al-Quranul-Karim.”

Kemudian beliau menulis beberapa ilham kepada beliau sebagai berikut:
أفحكم الجاهلية يبغون في زمان يحـكم الله ااياته مايشآء
Di dalam ini ada pula ayat Al-Quranul-Karim. Banyak wahyu-wahyu yang di dalamnya bukan ayat Al-Quranul-Karim. Misalnya:
يَامَوْرِدَ الوَارِدَاتِ وَياَ مَصْدِرَ اْلاايَاتِ إِنَّا جَعَلْنَاكَ اايَةً لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ وَ لَكِنَّ أَكْثَرَ النّاَسِ لاَيَعْلَمُونَ قُلْتُ يَا رَبِّ تَعْلَمُ ماَ فيِْ نَفْسِيْ وَ لاَ أَعْلَمُ ماَ فيِْ نَفْسِكَ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْلَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ اْلعزِيْزُ الحْـَكِيْمُ
Di dalam ilham ini, bersama ilham, ada juga ayat-ayat Al-Quran.
Dalam Futuhul-Ghaib مفاله 26 Hadhrat Syekh Abdul Qadir Jaelani rahimahullaahu bersabda:
تُغْنَى و تُشَجَّعُ وَ تُرْفَعُ وَ تخُـَاطَبُ بِأَنَّكَ اْليَوْمَ لَدَيْناَ مكينٌ أَمين –
“Engkau akan dijadikan kaya dan pemberani. Dan, engkau akan dianugerahi kemuliaan. Dan, engkau akan dianugerahi dengan kalam bahwa engkau di sisi kami pada martabat yang tinggi, yang luhur dan jujur.” Bagian akhir ini pun terdapat di dalam ayat Al-Quran.

Dari contoh wahyu-wahyu yang diterima oleh wujud suci tersebut di atas, nampak jelas ada wahyu-wahyu yang hanya berupa ayat-ayat Al-Quran, ada yang bukan ayat Al-Quran dan ada campuran antara ayat Al-Quran dengan kata-kata yang bukan Al-Quran.
Setelah menerangkan Kalam Tuhan dan macam wahyu Tuhan, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitab beliau Al-Futuuhaatul-Makiyyah Juz II, hal. 236, “Semua macam wahyu Allah ini terdapat pada hamba-hmba Allah; yakni: para wali. Ya, wahyu yang khusus untuk para Nabi dan wali—yang mereka tidak dapatkan—adalah wahyu Syari’at. Jadi, wahyu yang di dalamnya terdapat hukum baru tidak akan turun. Jika ada Nabi dalam umat ini yang dibangkitkan dan dia memperoleh wahyu, maka tidak halangan dari segi akal dan nash (Al-Quran)—dengan syarat, di dalamnya tidak ada hal yang bertentangan dengan Al-Quran.”

Hadhrat Abdul Wahhab Asya’rani r.h. bersabda dalam Al-Yawaakit wal-Jawahir Juz II, hal. 84, sebagai berikut:“Kita tidak mendapat pemberitahuan dari Tuhan bahwa sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ada wahyu Syari’at yang akan turun. Tetapi untuk kita, wahyu dan ilham pasti ada.” Di dalam ini kata-kata wahyu dan ilham digunakan supaya para pembaca memperhatikan dan sama sekali jangan lupa bahwa wahyu yang di dalamnya tidak ada perintah baru yang menentang perintah Al-Quran itulah yang bisa turun. Dan, wahyu Syari’at ataupun wahyu kenabian yang membawa hukum baru—tidak akan turun lagi.

‘Allamah Alusi rahimahullaahu dalam Tafsir beliau bersabda dalam Ruhul Ma’ani Juz VII, hal. 326, “Kamu hendaknya mengetahui bahwa sebagian Ulama mengingkari turunnya malaikat/wahyu pada hati selain Nabi sebab mereka tidak merasakan lezatnya. Jelasnya bahwa malaikat itu turun, tetapi dengan Syari’at Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
Sebagaimana firman Tuhan:
تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبهِّـِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلاَمٌ هِـيَ حَتَّـى
مَطْلَعِ اْلفَجْرِ القدر : 5
“Di dalamnya turun malaikat-malaikat dan ruh atas Tuhan mereka, mengenai segala perkara.” (QS Al-Qadr {97} : 5)

Khususnya turun pada malam Lailatul Qadr, dan turunnya ini dengan perintah Tuhan. Dan berkenaan dengan berbagai urusan dan kemudian menyampaikan salam /atau membawa kedamaian kepada orang-orang Mukmin. Dan kita maklumi bersama bahwa untuk seterusnya, malam Lailatul Qadr akan tetap datang dimana malaikat dan wahyu Ilahi turun.

Dalam hal wahyu, hal berikut perlu diperhatikan bahwa barangsiapa yang mengada-ada, maka hukuman dari Allah tegas. Sampai sampai kini tidak ada seorang pun seperti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang hidup selama 23 tahun setelah menerima wahyu. Dan ini tentu merupakan barometer untuk siapapun. Sebagaimana firman Tuhan:
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ – لأََخَذْناَ مِنْهُ بِالْيَمِينِ – ثمُ َّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ - فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ  الحآقّـة : 45 –48
“Seandainya dia Muhammad menisbahkan kata dusta (mengatakan diri menerima wahyu) atas nama kami, nisaya, kami akan menangkap dia dengan tangan kanan. Kemudian, tentulah memutuskan urat lehernya. Dan, tiada seorang pun yang dapat mencegah kami dari hal itu.” (QS Al-Haqqah {69} : 45-48)
Di dalam Al-Quran, kita baca Surah Shaf:
وَمَنْ أَظْلَمُ ممَِّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ الْكَذِبَ  الصّفّ : 8
“Dan siapakah orang yang lebih zalim dari orang-orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah?” (QS Ash-Shaf {61} : 8)
Dari ayat ini, jelaslah bahwa orang-orang yang paling aniaya adalah orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah. Oleh karena itu, kita membaca bahwa resiko setiap yang mengada-adakan dusta mengalami seperti dijelaskan dalam ayat berikut:
…وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى  طـاـه : 62 لاَ يُفْلِحُ الظَّالمِـُونَ  القصص : 38
“Dan sesungguhnya telah gagal orang yang mengada-adakan dusta.” (QS Thaa Haa, (20) : 62) “Tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang zalim.” (QS Al-Qashash, (28) : 38)

Di dalam Bible pun, standar ini yang berlaku, sebagaimana tertera dalam Ulangan 18 : 20. “Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama alah lain, nabi itu harus mati”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang merupakan wujud yang paling dikasihi Tuhan, jika misalnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdusta menyatakan diri menerima wahyu padahal tidak menerima, tentu akan dihukum Tuhan; maka bagaimana dengan yang lain selain beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam? Pasti hukuman Tuhan akan lebih berat padanya.

Nah, wahyu-wahyu yang diterima pendiri Jemat Ahmadiyah merupakan Firman Tuhan yang sedikitpun tidak ada andil beliau di dalamnya. Dan tidak dengan keinginan beliau dan tidak pula mengada-ada. Sebab jika beliau mengada-ada atau berdusta atas nama Tuhan, maka sesuai dengan undang-undang Tuhan atau ketetapan-Nya, beliau akan dihancurkan dengan sendirinya, karena beliau berhadapan langsung dengan Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.

Sejarah umat manusia menjadi saksi bahwa—dari sejak Adam ‘alaihissalaam sampai kini—setiap yang mengaku menerima wahyu Ilahi padahal bukan dan menyampaikannya pada umat manusia dan menghimbau umat manusia untuk mengikutinya, telah menemui kegagalan. Sementara Pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang mengaku mendapat mandat dari Tuhan untuk menghidupkan agama dan menegakkan Syari’at sesuai kabar suka Nabi Besar Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, terus mendapat kesuksesan dalam missinya. Dan, Tuhan selalu berada di balik upaya-upaya beliau: memenangkan Islam ke seluruh dunia. Dan sesuai nubuwatan beliau sendiri dari Allah yang tertera di dalam Tadzkirah, Islam akan unggul dari segi kwalitas dan kwantitas di atas semua agama-agama di dunia. Persis sesuai nubuwatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam akan mendapat kemenangan di akhir zaman.

Jadi, Tadzkirah merupakan sebuah nama buku—kumpulan dari rukya (mimpi yang benar), kasyaf, dan ilham/wahyu yang turun dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa. Buku ini tidak berkedudukan sebagai kitab Syari’at apapun. Dan, jangankan memansukhkan Al-Quran, menandingi Al-Quran pun tidak mungkin; bahkan justru merupakan pendukung dan penjelasan ayat-ayat Al-Quran.
Tafsir Surah Al-Jumu’ah dalam Jaami’ul-Bayaan, Juz XIV, hal 88, Daarul Fikr Beirut, 1988, adalah:
وَااخَرِينَ مِنْهُمْ لمَـَّا يَلْحَقُوا بهِـِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ اْلحَكِيمُ
Bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.: Bahwa kami duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka kepada beliau turun ayat:
وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لمَـَّا يَلْحَقُوا بهِـِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ اْلحَكِيمُ
Beliau berkata, “Saya berkata: Siapa mereka, ya Rasulullah? Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawabnya setelah sampai tiga kali ditanyakan. Di antara kami ada Hadhrat Salman Al-Farisi radhiyallaahu ‘anhu.. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakan tangan beliau pada Hadhrat Salman radhiyallaahu ‘anhu. sambil bersabda,
لو كان الأيمان عند الثّريّا لنا له، رجل أو رجال من هـاـؤلآء –
“Seandainya iman itu terbang di bintang Surayya maka akan ada orang atau banyak orang dari mereka yang mengambilnya kembali.”
Dalam ayat ini dikatakan bahwa Allah akan mengirim/membangkitkan Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kaum lain yang belum ada hubunganya dengan para sahabah. Dan kebangkitan Rasulullah secara rohani pada kaum lain, di ayat seterusnya, dikatakan sebagai karunia Allah yang dianugerahkan pada siapa yang Dia kehendaki.

Dan kebangkitan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di kaum lain, beliau sendiri yang menafsirkan bahwa orang itu adalah dari kalangan orang-orang Persia (dari bangsa Hadhrat Salman radhiyallaahu ‘anhu berasal). Dan, Pendiri Jemaat Ahmadiyah adalah dari keturunan Persia yang mana beliau mengatakan bahwa beliau merupakan penyempurnaan dari nubuwwat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu dan datang pada saat keimanan berada di bintang Surayya sebagaimana ada isyarah dalam Hadits lain: Islam tinggal nama, Al-Quran tinggal tulisan dan lain-lain. Jadi, Pendiri Jemaat Ahmadiyah mewakili junjungan kita shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menghidupkan Agama dan menegakkan Syari’at Islam.

Oleh karena itu, dalam ayat:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تحُـِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونيِْ يحُـْبِبْكُمُ الله ُ... آل عمران : 32
“Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku; dengan demikian Allah akan mencintaimu…” (QS Ali Imran {3} : 32)kata ganti ني (nii--aku), jelas merujuk kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun, turunnya ayat tersebut pada beliau dan ayat-ayat lainnya dari Allah di luar keinginan dan kemampuan beliau, adalah anugerah Ilahi yang lebih berharga bagi beliau dibandingkan dunia dan seisinya. Oleh karena itu, para wali yang menerima wahyu walaupun tidak banyak, mereka menempuh cara hidup yang melupakan dunia. Dan anugerah Tuhan dalam bentuk turunnya “ayat-ayat Allah” berupa nubuwatan, ternyata dari hari demi hari—maka hal itu jelaslah, sesuai dengan keterangan dari keterangan di atas, merupakan ganjaran fana dan cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak hanya beliau kemukakan dengan ucapan dan ungkapan belaka bahkan seluruh umur harta dan jiwa raga beliau, telah dikerahkan untuk membela mati-matian majikan beliau—Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam—terhadap segenap lawan-lawan Islam, baik dengan lisan maupun tulisan. Tugas ini bukan hanya tanggungjawab beliau, tetapi tugas semua umat Islam. Akan tetapi, kawan dan lawan mengakui bahwa tidak ada waktu luang yang tidak beliau gunakan untuk membela Islam. Dan jelas, semua ini karena kecintaan beliau kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana jelas nampak dalam wahyu Ilahi pada beliau, yaitu:هـاـذا رجل يحبّ رسولَ اللهِ . تذكره ، صفحه 42 ، سنة 1956
“Inilah, laki-laki yang mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.”

Kecintaan kepada Junjungan sekalian alam—Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam—itulah yang menyebabkan turunnya anugerah Ilahi berupa ayat-ayat suci Al-Quran. Sebagai berkah kecintaan beliau kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu, kini telah menular ke seluruh penjuru dunia yang nampak jelas dalam semua aktivitas Jemaat Ahmadiyah untuk memenangkan Islam di seluruh dunia. Hal ini diakui oleh kawan maupun lawan.

Tidak ada komentar: