Sabtu, November 21, 2015


Quo Vadis Shiddiq Amien (Persis)?

Tentu saja ada yang beda antara Soekarno dengan Shiddiq Amien, Ketum Persis. Kita tidak sedang membicarakan pribadi karena pribadi manusia tentu suatu wujud nan penuh cacat, aib dan kelemahan. Hanya mereka yang mendapat karunia Ilahi saja yang derajat ilmu, akhlak dan rohaninya melebihi rata-rata manusia lainnya. Sementara di sisi lain, Nabi Muhammad saw sendiri bersabda perihal aib bahwa itu sesuatu yang harus ditutupi, apalagi bila lebih buruk dari itu yaitu fitnah dan tuduhan palsu. Maka dari itu, pembicaraan kita kali ini tentu saja sesuai niat awal yaitu membicarakan pemikiran dan pandangan Shiddiq Amien perihal Ahmadiyah yang ia tulis pada majalah Persis 'Risalah' beberapa tahun lalu. Link artikel ini bisa diklik pada http://www.persis67benda.com/artikel/Aqidah/46/quo-vadis-ahmadiyah.

Pokok pandangan Shiddiq Amien yang pertama ialah Ahmadiyah sesat dan kafir sembari mengutip kata-kata founding fathers kita, Bung Karno. Selanjutnya, Shiddiq Amien mengutip pendapat Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dalah kafir.

Pertama, adalah suatu hal yang sangat genting dan penuh tanda tanya untuk menyatakan suatu golongan itu sebagai sesat dan kafir dengan hanya mengutip pandangan satu atau banyak manusia saja, dalam hal ini Bung Karno dan Muhammadiyah. Sementara, di sisi lain, kita tidak melihat kutipan lengkapnya disertakan.

Ternyata kasus serupa telah terjadi. Jauh sebelum ini, salah satu sekretaris Isyaat Jemaat Ahmadiyah Indonesia belasan tahun lalu, almarhum Syafi' Rajo Batuah menulis:

"Kini juga seorang penulis, Fawzy Sa’ied Thaha, yang berustadz kepada A.Hassan dalam tulisannya pada Al-Muslimun, No.84 hal.47-51 berusaha mendiskreditkan hubungan Ahmadiyah dengan Soekarno. Ia menginsinuasikan seakan-akan Soekarno adalah lawan Ahmadiyah. Ia mengutip tulisan Soekarno dalam bukunyaDi Bawah Bendera Revolusi, jilid I. Tetapi cara pengutipannya dilakukannya dengan curang. Ia berbuat seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh Al-Qur’an. Seperti orang-orang Yahudi yang menukar-nukar kalimat demikian pula Fawzy memotong-motong kalimat pemimpin besar Indonesia itu. Ia hanya menyebutkan bagian kalimat yang pertama dan meninggalkan bagian yang kedua. Padahal seluruh kalimat itu bermula dengan perkataan “Maka oleh karena itulah, walaupun ………. “. Siapapun yang pernah belajar bahasa Indonesia mengerti bahwa sesuatu kalimat memakai perkataan “walaupun” menghendaki bagian kalimat yang bersifat pelengkap. Bahkan tekanan arti seluruh kalimat terletak pada bagian kalimat yang merupakan pelengkap itu. Tetapi Fawzy telah membuang bagian kalimat yang bersifat pelengkap itu. Dengan begitu ia berusaha hendak memfokuskan perhatian orang pada bagian permulaan saja dari kalimat itu. Tetapi pemalsuannya itu tidak akan berhasil memperdayakan orang-orang.

Kalimat Soekarno itu seluruhnya berbunyi, “Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiyah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya “pengeramatan” kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan mereka punya kecintaan kepada imperialisme Inggris, tokh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rationeel, modern, broadminded dan logis itu” (hal.346)

Bagian yang dicetak miring ini dibuang dalam kutipan Fawzy. Justru bagian itu tidak kurang pentingnya, bahkan bagian itu adalah konpensasi buat bagian yang terdahulu. Tetapi Fawzy, sesuai dengan prinsipnya “het doel heiligt de middelen”, emmebuang bagian kalimat penting itu, karena ia kuatir bahwa para pembaca akan terpengaruh oleh makna positif dari kalimat itu.

Salut penghormatan

Kutipan berikut ini, yang diambil dari buku Di Bawah Bendera Revolusi itu juga (jilid I), menunjukkan bagaimana pandangan Soekarno tentang Ahmadiyah. Ia menulis, “Ya,……. Ahmadiyah tentu ada cacadnya, – dulu pernah saya terangkan di dalam suratkabarPemandangan apa sebabnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah – tetapi satu hal adalah nyata sebagai batukarang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita ucapkan kepadanya di sini dengan cara yang tulus dan ikhlas” (hal.389).

Mengenai pengaruh Ahmadiyah terhadap pemikiran orang-orang terpelajar Indonesia, Tempo dalam edisinya 21 September 1974 berkata, “Bila seorang khatib muda naik di mimbar Jum’at dan ‘mengupas” Bibel dan mengutip Muhammad Ali, atau kadang Mirza Basyiruddin tanpa menyebut sumber, dan dengan itu telah mengesankan keluasan berfikir yang cukup, galibnya ia tidaklah bermaksud mempropagandakan Ahmadiyah. Fikiran-fikiran Ahmadiyah itu telah demikian saja merupakan satu bagian tak terpisahkan dari pemikiran Islam mutakhir” (hal.50. Hasil dari penulis, Sinyalemen ini berlaku juga terhadap Soekarno. Pahamnya mengenai Islam banyak terpengaruh oleh ajaran-ajaran Ahmadiyah, dan ia sangat berterima kasih atas itu, namun ia bukanlah orang Ahmadiyah seperti dikatakannya."

Pokok pandangan yang terlewatkan dari Shiddiq Amien ialah begitu mudahnya ia menyebut sesat dan kafir kepada suatu golongan. Begitu yakinnya beliau dalam mencap seseorang itu sesat dan kafir. Dan, dasarnya sama yaitu pendapat tokoh tertentu. Fatwa-fatwa yang dijadikan patokan pun tipikalnya sama saja, yang isinya, golongan Ahmadiyah sesat dan keluar dari Islam dengan dasar ayat-ayat tertentu saja. Mengapa, sebagai seorang tokoh cendekia, seorang Shiddiq Amien tidak mengajak kita berpikir, apakah kita benar dan berhak menilai dan mencap sesat, kafir dan bukan Islam padahal ia mengimani dan mengamalkan 5 rukun Islam dan 6 rukun Iman? Mereka mengakui kenabian Nabi Muhammad saw dan Kitab Suci Al-Qur'an serta mengupayakan untuk beramal berdasarkan hal itu. Kesalahan, jika itu tak mau disebut perbedaan mereka ialah, mereka dan kita sama2 membenarkan dan mengimani sabda Nabi Muhammad saw yang mengabarkan perihal akhir zaman dan kedatangan Imam Mahdi dan Isa, perbedaan terletak pada person siapa orangnya, darimana dan kapan datangnya. patutkah kita merasa benar dan cukup menghakimi mereka kafir dan non Islam? Apakah kita merasa cukup ketika menghadapi hal ini dengan cara menanyakan pada tokoh fulan dan fulan lalu fatwa ulama ini dan ulama itu. Sementara, tipikal fatwa tersebut sama saja, tanpa pengkajian mendalam. Bahkan, fatwa MUI 1980an saja menyebutkan dasar 9 buah buku tanpa dijelaskan rujukan bukunya.               

Selanjutnya, Shiddiq Amien dengan melanjutkan artikelnya hanya menyebut beberapa event sejarah perihal penentangan terhadap Ahmadiyah di Pakistan. Mungkin ada satu atau beberapa hal yang terlewatkan, yaitu bagaimana sebagian orang Muslim yang belum memahami tentang Ahmadiyah di Pakistan dalam menentang Ahmadiyah. Di artikel tersebut hanya menyebut soal demo turun ke jalan. Peristiwa-peristiwa bersifat pidana seperti pembunuhan, upaya pembunuhan dan perusakan properti terhadap orang-orang Ahmadiyah tidak disebut. Indonesia dibandingkan Pakistan bisa dikatakan dibawah 30 persen dalam hal keparahan dan kekerasan yang para penentang Ahmadiyah lakukan terhadap orang-orang Ahmadiyah.

Banyak hal yang ingin saya sebutkan hari ini, tapi karena satu dan lain hal baru ini saja yang disebutkan. Moga2 ada waktu di lain hari.



Tidak ada komentar: